Jumat, 01 Mei 2009

Fungsi Pengawasan Dalam Mewujutkan Pemerintahan Yang Bersih

Oleh Rocky Marciano Ambar

A. Latar belakang

Negara Republik Indonesia adalah merupakan Negara kesatuan yang dalam pelaksanaan pemerintahanya tetap berdasarkan dengan ketentuan hukum yang berlaku demi mewujutkan tujuan nasional sebagimana ditegaskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. dengan mengacu pada hal tersebut disusunlah arah peyelenggaraan Negara dalam bentuk garis-garis besar haluan Negara, yang memuat konsepsi penyelenggaraan Negara yang menyeluruh untuk membangun tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta mewujudkan kemajuan disegalah bidang.

Menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa merupakan salah satu agenda penting dalam pembangunan nasional. Karena itu reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan teramat dibutuhkan demi mewujudkan tujuan nasional tersebut. hal tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan kualitas sumber daya manusia aparatur dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.

Pada kenyataanya reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan. Demikian pula, masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan yang sesungguhnya. Banyaknya permasalahan birokrasi tersebut di atas, belum sepenuhnya teratasi baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, berbagai faktor seperti demokrasi, desentralisasi dan internal birokrasi itu sendiri, masih berdampak pada tingkat kompleksitas permasalahan dan dalam upaya mencari solusi bahkan telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan dalam kebijakan publik.. Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi juga akan kuat berpengaruh terhadap pencarian alternatif- alternatif kebijakan dalam bidang aparatur negara. Dampak tersebut terkait dengan, makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum. meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan. Demikian pula, secara khusus dari sisi internal birokrasi itu sendiri, berbagai permasalahan masih banyak yang dihadapi. Permasalahan tersebut antara lain adalah pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan dan masih banyaknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan yang belum memadai, rendahnya efisiensi dan efektifitas kerja, rendahnya kualitas pelayanan umum serta rendahnya kesejahteraan pegawai negeri sipil (PNS) dan banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.

Di lain sisi faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi (e-Government) juga merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, baik dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan faktor lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan cepat, dan makin derasnya arus informasi dari manca negara yang dapat menimbulkan infiltrasi budaya dan terjadinya kesenjangan informasi dalam masyarakat (digital divide). Perubahan-perubahan ini, membutuhkan aparatur negara yang memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang handal untuk melakukan antisipasi, menggali potensi dan cara baru dalam menghadapi suatu tuntutan perubahan demi mewujudkan tujuan negara serta pembangunan nasional. Dan disamping itu juga, aparatur negara harus mampu meningkatkan daya saing, dan menjaga keutuhan bangsa dan wilayah negara. Untuk itu, dibutuhkan suatu upaya yang lebih komprehensif dan terintegrasi dalam mendorong peningkatan kinerja birokrasi aparatur negara dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel yang merupakan amanah reformasi dan tuntutan masyarakat.

B. Perumusan Masalah

Tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang serta tindakan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang di akibatkan oleh lemahnya fungsi pengawasan terhadap kinerja aparatur Negara. Dengan demikian dapatlah di ambil suatu perumusan masalah yaitu:

a. Apakah yang dimaksud dengan fungsi pengawasan dalam pemrintahan yang baik?

b. Bagamanakah penlaksanaan fungsi pengawasan dalam mewujutkan pemrintahan yang bersih?

PEMBAHASAN

A. Fungsi Pengawasan Dalam Pemrintahan Yang Bersih

Menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa merupakan salah satu agenda penting dalam pembangunan nasional. Karena itu reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan teramat dibutuhkan demi mewujudkan tujuan nasional tersebut. hal tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan kualitas sumber daya manusia aparatur dan sistem fungsi pengawasan dan pemeriksaan yang efektif dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan.

Fungsi pengawasan atau yang lebih dikenal dengan Controlling tidak dapat berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan fungsi-fungsi manajemen yang lain yang paling sederhana yaitu Planning, Organizing dan Actuating. fungsi pengawasan adalah merupakan suatu kegiatan untuk mencocokkan apakah kegiatan operasional dilapangan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Kegiatan ini dapat disimak dari rencana pembangunan yang terbagi dalam Pembangunan jangka panjang ( dua puluh lima tahun ), jangka menengah ( lima tahun ) dan jangka pendek ( satu tahun ) yang sering di lakukan oleh pemrintah dalam mewujudkan pembangunan nasional. Dimana yang menjadi obyek dari kegiatan pengawasan adalah adanya kemungkinan terjadinya kesalahan, penyimpangan, kecurangan, pelanggaran. Kesalahan yang terjadi karena miskomunikasi, penyimpangan baik terjadi karena kesengajaan dalam menggunakan sebagian dana pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan pribadi. Atau Pelanggaran karena disengaja atau tidak sengaja, pelaksanaan pembangunan tidak sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang telah ditetapkan.

Dalam pelaksanaan pemrintahan yang baik fungsi Pengawasan dapat di golongkan menjadi tiga bagian yaitu: (1)। pengawasan menurut sifat yaitu pengawasan menurut sifat preventif yang dilakukan sebelum suatu kegiatan dilakukan (tindakan jaga-jaga) dan sifat represif di mana merupakan pengawasan yang dilakukan setelah suatu kegiatan di laksanakan। (2). pengawasan menurut objek yaitu pengawasan yang dilakukan terhadap subjek/pemerintah yang tak lain adalah merupakan pelaksana tugas pemrintahan serta pengawasan terhadap produk hukum dan sarana yang di gunakan. (3). pengawasan menurut pelaku yaitu pengawasan yang dilakukan melalui lembaga Negara MPR,DPR, dan social contol/pengawasan langsung taupun tidak langsung dari masyarakat, serta pengawasan internal, pengawasan lewat lembaga peradilan, pengawasan melat lembaga ombusmen dan pengawasan melalui lembaga independent.

Bahkan McFarland mengatakan bahwa pengawasan itu ialah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan yang telah ditentukan. Selanjudnya juga Smith (dalam Soewartojo, 1995:131-132) menyatakan bahwa: Controllingsering diterjemahkan pula dengan pengendalian, termasuk di dalamnya pengertian rencana-rencana dan norma-norma yang mendasarkan pada maksud dan tujuan manajerial, dimana norma-norma ini dapat berupa kuota, target maupun pedoman pengukuran hasil kerja nyata terhadap yang ditetapkan. Pengawasan merupakan kegiatan-kegiatan dimana suatu sistem terselenggarakan dalam kerangka norma-norma yang ditetapkan atau dalam keadaan keseimbangan bahwa pengawasan memberikan gambaran mengenai hal-hal yang dapat diterima, dipercaya atau mungkin dipaksakan, dan batas pengawasan (control limit) merupakan tingkat nilai atas atau bawah suatu sistem dapat menerima sebagai batas toleransi dan tetap memberikan hasil yang cukup memuaskan. Dalam manajemen, pengawasan (controlling) merupakan suatu kegiatan untuk mencocokkan apakah kegiatan operasional (actuating) di lapangan sesuai dengan rencana (planning) yang telah ditetapkan dalam mencapai tujuan (goal) dari organisasi. Dengan demikian yang menjadi obyek dari kegiatan pengawasan adalah mengenai kesalahan, penyimpangan, cacat dan hal-hal yang bersifat negatif seperti adanya kecurangan, serta pelanggaran dan korupsi kolusi dan nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.

Dalam mewujudkan aparatur negara yang bersih, profesional, bertanggungjawab serta untuk menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif agar dapat memberikan pelayanan yang bermutu kepada seluruh masyarakat di perlukan suatu reformasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan yang ada namun pada kenyartaanya pelaksanaan reformasi saat ini masi dirasakan kurang berjalan sesuai dengan tuntutan reformasi masyarakat, hal tersebut masi terkait dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam upaya mencari solusi perbaikan dan masih tingginya tingkat penyelagunaan wewenang, banyaknya pratek KKN, dan masih lemanya suatu pengawasan terhadap kinerja aparatur negara merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan। Oleh karena itu sangat di butuhkan suatu upaya yang komprehensif dan terintregasi dalam upaya mendorong peningkatan kinerja birokrasi aparatur negara. untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel tak lain adalah merupakan amanah reformasi dan tuntutan seluruh rakyat Indonesia yang harus di laksanakan

Dengan demikian sangat di perlukan upaya untuk mencapai sasaran pembangunan penyelenggaraan negara dalam mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, maka penyelengaraan negara harus diarahkan dalam kebijakan diantaranya:

1. Menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktik-praktik KKN dengan cara:

a. Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan pada semua kegiatan;

b. Pemberian sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

c. Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan sinergi pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat;

d. Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional, produktif dan bertanggung jawab;

e. Peningkatan pemberdayaan penyelenggaraan negara, dunia usaha dan masyarakat madani dalam pemberantasan KKN.

f. Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan pemeriksaan

2. Meningkatkan kualitas penyelengaraan administrasi negara melalui:

a. Penataan kembali fungsi-fungsi kelembagaan pemerintahan agar dapat berfungsi secara lebih memadai, efektif, dengan struktur lebih proporsional, ramping, luwes dan responsif;

b. Peningkatan efektivitas dan efisiensi ketatalaksanaan dan prosedur pada semua tingkat dan lini pemeritahan;

c. Penataan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur agar lebih profesional sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat; serta

d. Peningkatan kesejahteraan pegawai dan pemberlakuan sistem karier berdasarkan prestasi.

e. Optimalisasi pengembangan dan pemanfaatan e-Government, dan dokumen/arsip negara

3. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dengan:

a. Peningkatan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar, pelayanan umum dan pelayanan unggulan;

b. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat mencukupi kebutuhan dirinya, berpartisipasi dalam proses pembangunan dan mengawasi jalannya pemerintahan..

c. Peningkatan tranparansi, partisipasi dan mutu pelayanan melalui peningkatan akses dan sebaran informasi.

Dengan demikian perwujudan pembangunan nasional yang sebagimana di manatkan dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur, serta memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa lewat pelaksanaan pemerintahan yang bersi dan akuntabel dapat terlaksana dngan baik.

B. Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dalam Mewujutkan Pemrintahan Yang Bersih

Sebagaimana diketahui bersama bahwa fungsi pengawasan dalam penyelenggaraan manajemen pemerintahan mutlak diperlukan, namun permasalahan yang terdapat dalam pelaksanaan pengawasan sebagaimana dikemukakan dalam bagian di atas berakibat pengawasan itu sendiri tidak berjalan efektif, yang pada akhirnya tidak dapat mendukung penyelenggaraan manajemen pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan secara efektif.

Kondisi yang ideal, agar struktur pengawasan dapat berjalan secara efektif, yaitu adanya feed back hasil pengawasan intern pemerintah secara utuh yang dapat disampaikan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara, maka perlu ada sistem akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan secara komprehensif. Selain itu, Presiden harus memiliki aparat pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk dapat melaksanakan pengawasan atas akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan, yang kedudukannya independen, tidak berada dibawah kementerian/lembaga. Dimana yang menjadi obyek dari kegiatan pengawasan adalah adanya kemungkinan terjadinya kesalahan, penyimpangan, kecurangan, pelanggaran. Kesalahan yang terjadi karena miskomunikasi, penyimpangan baik terjadi karena kesengajaan dalam menggunakan sebagian dana pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan pribadi. Atau Pelanggaran karena disengaja atau tidak sengaja, pelaksanaan pembangunan tidak sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang telah ditetapkan

Hal tersebut diatas juga dapat dilihat dari apa yang menjadi Sasaran yang ingin dicapai dalam pelaksanaan reformasi birokrasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009, yaitu terciptanya tata pemerintahan yang baik, bersih, bewibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan “sosok dan perilaku birokrasi” yang efisien dan efektif, serta dapat memberikan pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat.

Dalam rangka mewujudkan arah kebijakan reformasi birokrasi tersebut, cara yang perlu ditempuh, antara lain peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan sinergi pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat yang dilakukan melalui Program Peningkatan pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara.

Dengan demikian Koordinasi dan sinergi pengawasan dalam penyelenggaran pemerintahan yang bersih sangat diperlukan karena peran pengawasan yang dimiliki oleh unit pengawasan pada berbagai lapisan dalam pemerintahan yang diselengarakan sebagai konsekuensi dalam penerapan prinsip manjemen termasuk manajemen pemerintahan. Pihak-pihak yang mempunyai peran dalam pengawasan dan penggolongan dalam pengawasan dapat disebutkan sebagai berikut:

1. pengawasan menurut sifat.

a. sifat preventif yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum di lakukan suatu tindakan.

b. Sifat represif yaitu pengawasan yang dilakukan setelah dilakukan suatu tindakan.

2. pengawasan menurut objek.

a. pengawasan yang dilakukan terhadap perilaku/subjek hokum (aparat pemerintah yang merupakan pelaksana)

b. pengawasan terhadap produk hokum yang di hasilkan baik dalam bentuk UU, peraturan maupun keputusan.

c. Pengawasan terhadap sarana-prasarana yang di gunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

3. pengawasan menurut perilaku.

a. Political control seperti MPR, DPR yaitu sesuai dengan UUD 1945 DPR memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap Eksekutif pengawasan ini di lakukan terdap penyelenggaraan pemerintahan. Demikian juga dengan BPK yang melakukan pengawasan terhadap penggunaan keuangan Negara oleh pemerintah.

b. Social control yaitu pengawasan yang dil;akukan oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengawasan masyarakat di perlukan dalam mewujutkan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Seperti penilaian terhadap keberhasilan suatu jasa pelayanan yang di berikan oleh pemerintah.

c. Pengawasan internal/internal control yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga itu sendiri, yaitu pengawasan atasan langsung yang di lakukan oleh pimpinan/atasan langsung suatu instansi atau unit kerja terhadap bawahannya mulai dari menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota dengan melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang dilakukan terhadap bawahannya dengan menerapkan system pengendalian interen.

d. Pengawasan oleh lembaga peradilan/yudikatif control.

e. Pengawasan yang di lakukan oleh lembaga ombusmen.

f. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga independent/independent control. Seperti NGO.

Dengan terdapatnya berbagai pihak yang berkepentingan terhadap fungsi pengawasan maka berakibat dalam prakteknya timbul permasalahan tumpang tindih pengawasan sehingga posisi dan peran masing-masing lembaga pengawasan intern untuk itu demi menghindari terjadinya sutau tumpang tindih, maka harus dilakukan suatu penataan dengan baik, dan perlu adanya suatu sinergi pengawasan interen yang baik. Penataan ini sangat penting untuk dipahami dan dilakukan bersama agar pengawasan terhadap akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan negara di masing-masing kementerian/lembaga dapat dilakukan dengan baik, yang pada akhirnya akan memperkuat posisi pengawasan intern pemerintah untuk dapat memberikan kontribusinya secara optimal. Itjen kementerian/lembaga akan fokus pada kinerja kementerian/lembaga, Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota akan fokus pada kinerja Kepala Daerah, dan BPKP sebagai auditor Presiden akan fokus pada akuntabilitas Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara.

Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas sistem pengendalian intern, perlu dilakukan dengan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi, serta pembinaan penyelenggaraan sistem pengendalian intern instansi pemerintah. Dimana menata dan menyempurnakan kebijakan, sistem, struktur kelembagaan dan prosedur pengawasan yangindependen, efektif, efisien, transparan dan terakunkan. Demi mewujudkan suatu pelaksanaan pemerintahan yang bersih.

A. Kesimpulan

Dengan berdasarka pada apa yang telah di bahas di atas maka fungsi pengawasan dalam suatu penyelenggaraan yang baik sangat di butuhkan demi terciptanya suatu tata pemerintahan yang baik, bersih, bewibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan “sosok dan perilaku birokrasi” yang efisien dan efektif, serta dapat memberikan pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat.

Oleh karena itu, diperlukan suatu aturan yang baku mengatur secara jelas tentang mekanisme pengawasan dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik. Sebagai system pengawasan nasional tentulah memerlukan suatu aturan yang mengatur dengan jelas tentang mekanisme pengawasan yang benar dalam system pemrintahan. untuk menciptakan adanya suatu lingkungan pengawasan (control environment) yang efisien dan efektif dalam mendorong terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Dengan aturan yang jelas dan system pengawasan nasional, maka pemeriksa ekstern dan intern akan berjalan secara koordinatif sesuai dengan masing-masing tugas pengawasan dan pemeriksaannya demi tercptanya suatu terciptanya tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab.

Kamis, 30 April 2009

Kelumpuhan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Legislasi Di Indonesia

Oleh Rudhy Achsoni, S.H

  1. Latar belakang masalah

Masa transisi Indonesia menuju demokrasi merupakan salah satu tahapan yang menjadi fase penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah perubahan di bidang ketatanegaraan yang diantaranya mencakup proses perubahan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Salah satu perubahan penting yang menurut hemat penulis mempuyai relevansi dengan tema makalah diatas adalah terkait perubahan terhadap Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.

Rumusan semula Pasal 2 ayat (1) tersebut bunyinya adalah:

”Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”.

Dengan perubahan tersebut bukan saja berarti tidak ada lagi utusan golongan dalam keanggotaan MPR, serta tidak ada lagi anggota MPR yang diangkat, tetapi juga dibentuknya sebuah lembaga baru bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keberadaan utusan daerah dalam komposisi keanggotaan MPR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum diubah) kurang memberikan makna bagi kepentingan daerah. Hal ini karena tugas dan wewenang MPR yang tidak terkait dengan pembentukan Undang-Undang. Tugas dan wewenang MPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945 (sebelum diubah) adalah mengubah Undang-Undang Dasar, menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara, serta memilih dan mengangkat Presiden dan wakil Presiden.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah diperlukan adanya lembaga Negara yang dapat menjembatani kepentingan pusat dan daerah, serta memperjuangkan kepentingan aspirasi masyarakat dan daerah dalam kebijakan nasional. Dengan demikian yang menjadi gagasan dasar pembentukan DPD adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk soal-soal yang terutama berkaitan langsung dengan daerah.

Keinginan tersebut barangkali dari pemikiran bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa yang lalu ternyata telah mengakibatkan meningkatnya ketidakpuasan daerah-daerah yang telah sampai pada tingkat membahayakan keutuhan wilayah Negara dan peraturan nasional. Lahirnya tuntutan-tuntutan untuk memisahkan diri dari Negara kesatuan Republik Indonesia adalah indikator yang paling nyata dari ketidakpuasan itu. Sementara itu, keberadaan unsur utusan daerah dalam keanggotaan MPR (sebelum dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945) ternyata tidak memberikan peran yang berarti dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik yang manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh daerah.

Dalam makalah tidak akan membahas isu DPD secara keseluruhan akan tetapi lebih fokus pada kewenangan DPD dalam proses legilasi di Indonesia, hal ini mengingat beberapa redaksional kewenangan DPD yang sampai hari ini dipermasalahkan, yaitu dapat kita lihat pada Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 22 D ayat (1), dan (2), yang berbunyi:

1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas racangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan; pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Beberapa Pasal di atas itu menggambarkan betapa terbatasnya kewenangan DPD dalam proses legislasi, dan tentu dari keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh DPD itu akan berimplikasi pada ketidakmaksimalan DPD dalam menjalankan kinerjanya. Apabila kita mencoba untuk mengamati lebih jauh, maka peran wakil daerah ini tidak lebih dari sekedar lembaga pertimbangan saja. Hal ini sejalan dengan pendapat yang di sampaikan oleh Iwan Satriawan dalam makalahnya yang berjudul Peguatan DPD Proporsionalitas Perwakilan Politik Dan Perwakilan Daerah menyebutkan bahwa paska amandemen ke empat DPD hanyalah menjadi supporting organ dari DPR dalam menjalankan proses legislasi dan posisinya tidak equal dengan DPR dalam proses legislasi.[1] Adapun peran DPD RI yang antara lain menyangkut urusan desentralisasi, keterlibatan dalam pembahasan RUU (khususnya pajak, pendidikan dan agama), APBN sebagian fungsi pengawasan lainnya yang juga selanjutnya melaporkan hasilnya kepada DPR RI, hanya dijadikan bahan pertimbangan saja untuk ditindaklanjuti.[2]

  1. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah yaitu, Bagaimanakah Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Dalam Proses Legislasi Di Indonesia?

Adapun titik fokus kajian dalam menjawab permasalahan akan dijabarkan lebih lanjut ke beberapa hal yang berkaitan dengan sejauhmana kewenangan DPD RI dalam proses legislasi dan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kewenangan DPD RI dalam proses legislasi di Indonesia

Pembahasan

  1. Kelumpuhan DPD Dalam Proses Legislasi

DPD lahir dengan semangat untuk memperkuat sistem demokrasi di Indonesia. Kekuasaan penyelenggaraan Negara yang terpusat di lembaga eksekutif selama beberapa dekade telah menimbulkan disparitas sosial dan ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Segala keputusan yang terkait dengan kepentingan daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Kondisi inilah yang ingin diubah dengan melahirkan lembaga DPD yang diharapkan dapat menjembatani kepentingan masyarakat dan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Reni Dwi Purnomowati, dalam bukunya yang berjudul Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, menjelaskan bahwa DPD memiliki fungsi penting dan strategis dalam menyerap aspirasi daerah agar daerah mempunyai wadah dalam menyuarakan kepentingannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.[1]

Eksistensi DPD telah membangkitkan harapan masyarakat di daerah bahwa kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan pada tingkat nasional. Melalui DPD ini diharapkan mampu menjamin dan menampung perwakilan kepentingan daerah-daerah secara memadai, serta memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam lembaga legislatif. Hal ini bukan berarti kepentingan nasional akan terkurangi, karena bagaimanapun juga DPD adalah lembaga Negara yang bersifat nasional, sebagaimana Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Namun perbedaan terletak pada mekanisme pemilihannya dan persyaratan pencalonan anggotanya lebih banyak dikaitkan dengan daerah, bukan penduduk.

Beberapa hal diatas merupakan gambaran singkat terkait tujuan dari pada di bentuknya lembaga DPD di Indonesia, akan tetapi apabila kita melihat pada wilayah Peraturan perundang-undangn kewenangan yang dimiliki oleh DPD sangat tidak berbanding lurus dengan tujuan dibentuknya lembaga DPD ini. Dan tentu karena judul makalah ini adalah kelumpuhan wewenang DPD dalam proses legislasi, maka disini hanya akan dibahas terkait lemahnya kewenangan DPD dalam proses legislasi di Indonesia.

Pertama kewenangan DPD dalam proses legislasi ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 22 D ayat (1), dan (2), seperti yang telah kita tulis pada bagaian latar belakang. Pengaturan dalam Pasal 22D ayat (1), dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 itu kemudian diderivikasikan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwkakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam Pasal 41 UU No 22 Tahun 2003 disebutkan bahwa DPD mempunyai fungsi:

a. pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu;

b. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.

Pada bagian keempat tepatnya pada Pasal 42 ayat (1), (2) dan (3) mengatur tentang Tugas dan kewenangan DPD yang meliputi:

(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) DPD mengusulkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada DPR dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR.

(3) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dimaksud pada ayat (1) dengan pemerintah.

Sedangkan sejauhmana Keterlibatan DPD untuk ikut dalam proses pembahasan RUU yang berkaitan dengan daerah diatur dalam Pasal 43 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) yang berbunyi:

(1) DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah.

(2) DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR.

(3) Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas rancangan undang-undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga.

(4) Pandangan, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan sebagai masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah.

Dari beberapa bunyi Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan juga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya DPD bukan termasuk badan legislatif penuh. DPD hanya berwenang mengajukan dan membahas rancangan undang-undang di bidang tertentu saja. Terhadap hal-hal lain, pembentukan undang-undang hanya ada pada DPR dan Pemerintah, dengan demikian rumusan baru Undang-Undang Dasar tidak mencerminkan gagasan mengikutsertakan daerah dalam penyelenggaraan seluruh praktik dan pengelolaan negara. Tentu ini menjadi suatu hal yang ganjil apabila ditinjau dari konsep dua kamar. Selain dipandang ganjil hal ini tentu juga akan berpengaruh dalam sistem ketatanegaraan kita. Dengan kata lain bahwa DPR akan sangat leluasa untuk menjadi lembaga negara yang tidak memiliki kendali.

Dari permasalahan tersebut maka diperlukan satu perangkat kontrol atas lembaga parlemen. Penulis sependapat dengan Giovannni Sartori yang dikutip oleh Danny Indrayana dalam bukunya Amandemen UUD 1945 antara Mitos dan Pembongkaran bahwa apabila kekuasaan legislatif hanya ditempatkan pada satu lembaga saja tidak hanya berbahaya tetapi juga tidak bijaksana karena dua mata tentu lebih baik daripada satu mata saja.[1]

Sebenarnya secara keseluruhan kelompok kita mengakui bahwa memang banyak kemajuan yang diraih dalam kehidupan ketatanegaraan kita berdasar UUD 1945 hasil perubahan. Kehidupan bernegara kita jauh lebih demokratis. Tidak ada lagi sensor, apalagi pembreidelan terhadap pers, ada lembaga independen yang khusus mengawal proses pemilu, pemerintah tidak bisa lagi bersikap otoriter, karena selalu dikontrol oleh pers, masyarakat, dan lembaga-lembaga politik lainnya. begitu juga munculnya MK sebagai the guardian of constitution. Namun meskipun demikian UUD 1945 hasil amandemen yang sudah sempurna ini merupakan resultante alias produk kesepakatan berdasar situasi poleksosbud dan waktu tertentu, oleh sebab itu peluang untuk menyempurnakannya kembali dengan resultante baru tidak boleh ditutup; sebab selain mungkin ada perkembangan baru yang harus diakomodasi bisa juga ada hal-hal penting yang tadinya terlewatkan dan baru disadari setelah muncul masalah-masalah konkret atau gejala-gejala kearah itu. Hanya saja dalam upaya melakukan perubahan lanjutan itu tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa, apalagi hanya sekedar ingin mengisi peluang berekspresi secara demokratis yang kini memang terbuka lebar. Perubahan UUD harus dilakukan dengan pemikiran dan pilihan politik yang benar-benar matang untuk kepentingan bangsa dan Negara, bukan untuk kepentingan kelompok.

Pada wilayah inilah kelompok kita menilai bahwa gagasan mencari resultante baru untuk mereposisi DPD secara konstitusional di dalam sistem ketatanegaraan kita menjadi penting. Ada sebagian elit yang berpendapat bahwa kedudukan dan fungsi DPD tidak perlu diubah karena sejak awal memang tidak didesign sebagai senat melainkan didesign seperti yang sekarang ini, dan Mahfud MD dalam diskusi publik “membangun sinergitas peran DPD dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah” menyanggahnya bahwa kalau memang ada pendapat bahwa DPD bukan didesign sebagai senat apa salahnya kita membuat resultante baru mengenai design DPD tanpa harus dijadikan senat atau ikut teori tertentu, karena hal itu sesungguhnya hanya tergantung kesepakatan kita.[2]

Selain tidak dianggap perlunya penguatan DPD karena alasan diatas, ada juga yang berpendapat bahwa penempatan DPD secara kuat dan sejajar dengan DPR seperti senat di dalam sistem bikameral adalah tidak sesuai dengan design teori Negara kesatuan yang sudah disepakati sebagai bentuk Negara kita। Mahfud MD juga menyanggahnya lagi bahwa pandangan ini tidak dapat diterima secara ilmiah karena dua alasan:

1. Sistem ketatanegaraan yang dimuat dalam konstitusi suatu Negara itu adalah hasil kesepakatan bangsa yang membuatnya tanpa harus ikut teori atau tidak ikut teori tertentu. Karena apapun yang dituangkan didalam konstitusi itulah yang berlaku.

2. Didalam faktanya tidak terdapat toeri baku tentang kaitan antara sistem bikameral dengan bentuk Negara; ada Negara kesatuan yang menganut bikameral dan ada pula Negara kesatuan yang tunduk pada sistem unikameral.[1]

Dari bebarapa pemaparan terkait lemahnya tugas dan wewenang DPD, khususnya di bidang legislasi, maka mustahil kemudian DPD akan dapat mewujudkan maksud dan tujuan pembentukanya. Alangkah disayangkan besarnya anggaran Negara yang digunakan dalam proses penyusunan usul rancangan Undang-Undang, pertimbangan, dan pengawasan DPD apabila itu semua tidak membawa manfaat bagi rakyat. Selain itu juga sulitnya bagi anggota DPD untuk mempertanggungjawabkan secara moral dan politik kepada pemilih dan daerah pemilihannya. Makanya kemudian diperlukan sebuah penegasan bahwa perubahan UUD 1945 dapat diagendakan kembali, dan memiliki alasan-alasan logis yakni dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi, untuk menguatkan saluran aspirasi daerah dan mengefektifkan kembali sistem checks and balances yang menjadi salah satu ide awal pembentukan DPD RI di Indonesia.

Kesepakatan kelompok kita terkait akan perlunya sebuah amandemen kelima untuk memperkuat posisi DPD dalam proses legislasi sebenarnya tidak hanya terbatas karena realitas ketidakberdayaan DPD hari ini, akan tetapi mengingat juga keberadaan DPD di Negara lain yang mempunyai posisi lebih kuat,dan hal itu terbukti dapat melahirkan mekanisme checks and balances yang lebih baik. Hal ini dapat kita lihat di Amerika Serikat, Senat di Amerika Serikat memiliki kedudukan dan kewenanngan yang relative lebih kuat dan lebih luas dalam fungsinya, mungkin tidak sedikit yang mempersoalkan bahwa kedudukan dan kewenangan senat di amerika serikat adalah karena konsep perwakilan seperti itu dijalankan didalam sebuah negar federal, namun demikia dari pengalama Amerika, minimal kita dapat mengambil pelajaran bagaimana mereka mongkontruksi sebuah system hubungan pusat (federal) dengan darah (state), sehingga membangun keseimbangan keterwakilan diantara keduannya.

Apabila konsep senat di Amerika terdapat resistensi seperti di atas, maka konsep kedudukan dan kewenangan National Council Of Provinces di Afrika Selatan lebih relevan digunakan sebagi pembanding karena Afsel juga merupakan sebuah Negara kesuatuan, dimana fungsi legislasi dijalankan oleh dua lembaga yaitu “the National Assembly” dan “The national Council Of Provinces”. Seperti yang telah ditulis dalam makalah Iwan Satriawan bahwa Dalam konstitusi Afsel mengatur secar jelas kekuasaan legislative ditingkat pusat dan bagimana kewenangan antara lembaga-lembaga Negara yang ada dalam melakukan fungsi legislasi, dan selain itu juga disebutkan bahwa National council of provinces mewakili Provinsi dalam rangka menjamin kepentingan provinsi agar diperhatikan dalam praktek pemerintahan secara nasional[2]. Dengan demikian The National Council Of Provinces memilik kedudukan dan kewenangan yang jelas dan kuat dalam hal yang terkait dengan kepentingan daerah yang diwakili. Dengn melihat fenomena di Afsel ini maka resistensi secara akademik maupun politik akan

cenderung berkurang, mengingat Indonesia dan Afrika Selatan memiliki kesamaaan dalam hal penerapan system Negara kesatuan.

2. Rekomendasi kewenangan DPD dalam Proses Legislasi Nasional

Berdasarkan beberapa persoalan diatas dan mengingat kesepakatan kita terkait ide adanya amandemen kelima, biar tidak terkesan makalah yang kita buat ini hanya mengkritik tidak ada solusi yang ditawarkan, maka kelompok kita mencoba untuk merekomudasikan terkait format ideal lembaga DPD kedepan dalam rangka memperkuat fungsi legislasi Nasional, adapun gagasan rekomundasi yang dapat kita berikan adalah sebagai berikut:

a. Pasal 22D ayat (1) yang sebelumnya berbunyi:

“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”

Diusulkan berubah menjadi:

“Dewan Perwakilan Daerah memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan dearah pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”

b. Pada Pasal 22D ayat (2) yang sebelumnya berbunyi

“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan; pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”
Di usulkan berubah menjadi:

“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”.

Secara bentuk format pasal mungkin seperti itu, akan tetapi itu tentu harus di tindaklanjuti dengan perubahan pada level Undang-Undang dan peraturan lain yang menyangkut proses lagislasi yang dijalankan oleh DPD, pada point inti usul amandemen UUD 1945 harus d ikuti dengan beberpa hal yang menurut kita penting yaitu:

a. Usul Pasal 22D ayat (2) misalnya DPD tidak sekedar “ikut membahas” RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah itu, tetapi juga dapat menolak atau menyetujui sebuah RUU tersebut.

b. Usul perubahan Pasal 22C ayat (2) “anggota DPD dari setiap Propinsi jumlahnya sama, dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR”. Pasal 22C ini dirubah “anggota DPD jumlahnya 1 orang setiap Kabupaten/Kota”.

c. Kedua kamar, dalam arti DPR dan DPD dapat mengajukan RUU, khusus untuk DPD yaitu RUU yang berkaitan dengan daerah.

d. Kedua kamar DPD dan DPR ikut membahas dan kedua kamar tersebut ikut sampai pada proses pengambilan keputusan. Khusus untuk DPD yaitu RUU yang berkaitan dengan daerah.

e. Presiden tidak lagi punya hak legislasi, akan tetapi Presiden diberikan hak veto. Dan hak veto Presiden dapat diveto balik oleh Parlemen dengan menggunakan syarat kuorum.

Dengan rumusan rekomendasi seperti di atas DPD tidak lagi menjadi lembaga pelengkap DPR akan tetapi DPD merupakan lembaga yang mandiri dan dapat ikut masuk kepada tahap persetujuan atas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pada usulan anggota DPD Pasal 22D ayat (2) juga ditegaskan bahwa DPD tidak lagi mempunyai fungsi yang sangat terbatas yaitu hanya memberikan pertimbangan kepada DPR dalam proses pembahasan RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Akan tetapi DPD juga diberi kewenangan untuk ikut membahas, serta memberikan pertimbangkan kepada DPR. Penulis sependapat dengan hal tersebut, karena apabila DPD hanya masuk pada wilayah pertimbangan saja, maka itu hanyalah sebagian kecil dalam penggunaan hak dalam fungsi legislasi.

  1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis pada pembahasan yang telah dikemukakan di bab-bab terdahulu, maka penulis menarik kesimpulan bahwa Dewan Perwakilan Daerah memiliki kewenangan yang terbatas dalam proses legislasi karena Dewan Perwakilan Daerah hanya diberi wewenang untuk dapat mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Akan tetapi pada wilayah pengambilan keputusan Dewan Perwakilan Daerah tidak dilibatkan.

Sehingga dengan bahasa lain bahwa Dewan Perwakilan Daerah hanya menjadi biro perancang undang-undang dari Dewan Perwakilan Rakyat, dalam arti bahwa dalam pelaksanaan fungsi legislasi, DPD tidak bisa masuk tahap persetujuan rancangan undang-undang. Secara otomatis DPD juga tidak dapat masuk pada tahap melakukan penilaian dan juga mempengaruhi atas suatu produk undang-undang, terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan daerah karena dalam kamar legislasi hanya terdapat DPR dan Presiden.

Agar terbangun prinsip checks and balances dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia, maka diperlukan sebuah perubahan mendasar terhadap fungsi legislasi yaitu dengan tidak lagi membatasi DPD seperti saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi dapat terwujudkan.

Apabila pola legislasi seperti sekarang ini maka DPD tidak pernah mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional, terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan daerah.