Kamis, 30 April 2009

Kelumpuhan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Legislasi Di Indonesia

Oleh Rudhy Achsoni, S.H

  1. Latar belakang masalah

Masa transisi Indonesia menuju demokrasi merupakan salah satu tahapan yang menjadi fase penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah perubahan di bidang ketatanegaraan yang diantaranya mencakup proses perubahan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Salah satu perubahan penting yang menurut hemat penulis mempuyai relevansi dengan tema makalah diatas adalah terkait perubahan terhadap Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.

Rumusan semula Pasal 2 ayat (1) tersebut bunyinya adalah:

”Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”.

Dengan perubahan tersebut bukan saja berarti tidak ada lagi utusan golongan dalam keanggotaan MPR, serta tidak ada lagi anggota MPR yang diangkat, tetapi juga dibentuknya sebuah lembaga baru bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keberadaan utusan daerah dalam komposisi keanggotaan MPR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum diubah) kurang memberikan makna bagi kepentingan daerah. Hal ini karena tugas dan wewenang MPR yang tidak terkait dengan pembentukan Undang-Undang. Tugas dan wewenang MPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945 (sebelum diubah) adalah mengubah Undang-Undang Dasar, menetapkan garis-garis besar dari pada haluan Negara, serta memilih dan mengangkat Presiden dan wakil Presiden.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah diperlukan adanya lembaga Negara yang dapat menjembatani kepentingan pusat dan daerah, serta memperjuangkan kepentingan aspirasi masyarakat dan daerah dalam kebijakan nasional. Dengan demikian yang menjadi gagasan dasar pembentukan DPD adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk soal-soal yang terutama berkaitan langsung dengan daerah.

Keinginan tersebut barangkali dari pemikiran bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa yang lalu ternyata telah mengakibatkan meningkatnya ketidakpuasan daerah-daerah yang telah sampai pada tingkat membahayakan keutuhan wilayah Negara dan peraturan nasional. Lahirnya tuntutan-tuntutan untuk memisahkan diri dari Negara kesatuan Republik Indonesia adalah indikator yang paling nyata dari ketidakpuasan itu. Sementara itu, keberadaan unsur utusan daerah dalam keanggotaan MPR (sebelum dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945) ternyata tidak memberikan peran yang berarti dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik yang manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh daerah.

Dalam makalah tidak akan membahas isu DPD secara keseluruhan akan tetapi lebih fokus pada kewenangan DPD dalam proses legilasi di Indonesia, hal ini mengingat beberapa redaksional kewenangan DPD yang sampai hari ini dipermasalahkan, yaitu dapat kita lihat pada Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 22 D ayat (1), dan (2), yang berbunyi:

1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas racangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan; pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Beberapa Pasal di atas itu menggambarkan betapa terbatasnya kewenangan DPD dalam proses legislasi, dan tentu dari keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh DPD itu akan berimplikasi pada ketidakmaksimalan DPD dalam menjalankan kinerjanya. Apabila kita mencoba untuk mengamati lebih jauh, maka peran wakil daerah ini tidak lebih dari sekedar lembaga pertimbangan saja. Hal ini sejalan dengan pendapat yang di sampaikan oleh Iwan Satriawan dalam makalahnya yang berjudul Peguatan DPD Proporsionalitas Perwakilan Politik Dan Perwakilan Daerah menyebutkan bahwa paska amandemen ke empat DPD hanyalah menjadi supporting organ dari DPR dalam menjalankan proses legislasi dan posisinya tidak equal dengan DPR dalam proses legislasi.[1] Adapun peran DPD RI yang antara lain menyangkut urusan desentralisasi, keterlibatan dalam pembahasan RUU (khususnya pajak, pendidikan dan agama), APBN sebagian fungsi pengawasan lainnya yang juga selanjutnya melaporkan hasilnya kepada DPR RI, hanya dijadikan bahan pertimbangan saja untuk ditindaklanjuti.[2]

  1. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah yaitu, Bagaimanakah Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Dalam Proses Legislasi Di Indonesia?

Adapun titik fokus kajian dalam menjawab permasalahan akan dijabarkan lebih lanjut ke beberapa hal yang berkaitan dengan sejauhmana kewenangan DPD RI dalam proses legislasi dan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kewenangan DPD RI dalam proses legislasi di Indonesia

Pembahasan

  1. Kelumpuhan DPD Dalam Proses Legislasi

DPD lahir dengan semangat untuk memperkuat sistem demokrasi di Indonesia. Kekuasaan penyelenggaraan Negara yang terpusat di lembaga eksekutif selama beberapa dekade telah menimbulkan disparitas sosial dan ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Segala keputusan yang terkait dengan kepentingan daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Kondisi inilah yang ingin diubah dengan melahirkan lembaga DPD yang diharapkan dapat menjembatani kepentingan masyarakat dan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Reni Dwi Purnomowati, dalam bukunya yang berjudul Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, menjelaskan bahwa DPD memiliki fungsi penting dan strategis dalam menyerap aspirasi daerah agar daerah mempunyai wadah dalam menyuarakan kepentingannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.[1]

Eksistensi DPD telah membangkitkan harapan masyarakat di daerah bahwa kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan pada tingkat nasional. Melalui DPD ini diharapkan mampu menjamin dan menampung perwakilan kepentingan daerah-daerah secara memadai, serta memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam lembaga legislatif. Hal ini bukan berarti kepentingan nasional akan terkurangi, karena bagaimanapun juga DPD adalah lembaga Negara yang bersifat nasional, sebagaimana Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Namun perbedaan terletak pada mekanisme pemilihannya dan persyaratan pencalonan anggotanya lebih banyak dikaitkan dengan daerah, bukan penduduk.

Beberapa hal diatas merupakan gambaran singkat terkait tujuan dari pada di bentuknya lembaga DPD di Indonesia, akan tetapi apabila kita melihat pada wilayah Peraturan perundang-undangn kewenangan yang dimiliki oleh DPD sangat tidak berbanding lurus dengan tujuan dibentuknya lembaga DPD ini. Dan tentu karena judul makalah ini adalah kelumpuhan wewenang DPD dalam proses legislasi, maka disini hanya akan dibahas terkait lemahnya kewenangan DPD dalam proses legislasi di Indonesia.

Pertama kewenangan DPD dalam proses legislasi ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 22 D ayat (1), dan (2), seperti yang telah kita tulis pada bagaian latar belakang. Pengaturan dalam Pasal 22D ayat (1), dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 itu kemudian diderivikasikan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwkakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam Pasal 41 UU No 22 Tahun 2003 disebutkan bahwa DPD mempunyai fungsi:

a. pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu;

b. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.

Pada bagian keempat tepatnya pada Pasal 42 ayat (1), (2) dan (3) mengatur tentang Tugas dan kewenangan DPD yang meliputi:

(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) DPD mengusulkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada DPR dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR.

(3) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dimaksud pada ayat (1) dengan pemerintah.

Sedangkan sejauhmana Keterlibatan DPD untuk ikut dalam proses pembahasan RUU yang berkaitan dengan daerah diatur dalam Pasal 43 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) yang berbunyi:

(1) DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah.

(2) DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR.

(3) Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas rancangan undang-undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga.

(4) Pandangan, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan sebagai masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah.

Dari beberapa bunyi Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan juga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya DPD bukan termasuk badan legislatif penuh. DPD hanya berwenang mengajukan dan membahas rancangan undang-undang di bidang tertentu saja. Terhadap hal-hal lain, pembentukan undang-undang hanya ada pada DPR dan Pemerintah, dengan demikian rumusan baru Undang-Undang Dasar tidak mencerminkan gagasan mengikutsertakan daerah dalam penyelenggaraan seluruh praktik dan pengelolaan negara. Tentu ini menjadi suatu hal yang ganjil apabila ditinjau dari konsep dua kamar. Selain dipandang ganjil hal ini tentu juga akan berpengaruh dalam sistem ketatanegaraan kita. Dengan kata lain bahwa DPR akan sangat leluasa untuk menjadi lembaga negara yang tidak memiliki kendali.

Dari permasalahan tersebut maka diperlukan satu perangkat kontrol atas lembaga parlemen. Penulis sependapat dengan Giovannni Sartori yang dikutip oleh Danny Indrayana dalam bukunya Amandemen UUD 1945 antara Mitos dan Pembongkaran bahwa apabila kekuasaan legislatif hanya ditempatkan pada satu lembaga saja tidak hanya berbahaya tetapi juga tidak bijaksana karena dua mata tentu lebih baik daripada satu mata saja.[1]

Sebenarnya secara keseluruhan kelompok kita mengakui bahwa memang banyak kemajuan yang diraih dalam kehidupan ketatanegaraan kita berdasar UUD 1945 hasil perubahan. Kehidupan bernegara kita jauh lebih demokratis. Tidak ada lagi sensor, apalagi pembreidelan terhadap pers, ada lembaga independen yang khusus mengawal proses pemilu, pemerintah tidak bisa lagi bersikap otoriter, karena selalu dikontrol oleh pers, masyarakat, dan lembaga-lembaga politik lainnya. begitu juga munculnya MK sebagai the guardian of constitution. Namun meskipun demikian UUD 1945 hasil amandemen yang sudah sempurna ini merupakan resultante alias produk kesepakatan berdasar situasi poleksosbud dan waktu tertentu, oleh sebab itu peluang untuk menyempurnakannya kembali dengan resultante baru tidak boleh ditutup; sebab selain mungkin ada perkembangan baru yang harus diakomodasi bisa juga ada hal-hal penting yang tadinya terlewatkan dan baru disadari setelah muncul masalah-masalah konkret atau gejala-gejala kearah itu. Hanya saja dalam upaya melakukan perubahan lanjutan itu tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa, apalagi hanya sekedar ingin mengisi peluang berekspresi secara demokratis yang kini memang terbuka lebar. Perubahan UUD harus dilakukan dengan pemikiran dan pilihan politik yang benar-benar matang untuk kepentingan bangsa dan Negara, bukan untuk kepentingan kelompok.

Pada wilayah inilah kelompok kita menilai bahwa gagasan mencari resultante baru untuk mereposisi DPD secara konstitusional di dalam sistem ketatanegaraan kita menjadi penting. Ada sebagian elit yang berpendapat bahwa kedudukan dan fungsi DPD tidak perlu diubah karena sejak awal memang tidak didesign sebagai senat melainkan didesign seperti yang sekarang ini, dan Mahfud MD dalam diskusi publik “membangun sinergitas peran DPD dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah” menyanggahnya bahwa kalau memang ada pendapat bahwa DPD bukan didesign sebagai senat apa salahnya kita membuat resultante baru mengenai design DPD tanpa harus dijadikan senat atau ikut teori tertentu, karena hal itu sesungguhnya hanya tergantung kesepakatan kita.[2]

Selain tidak dianggap perlunya penguatan DPD karena alasan diatas, ada juga yang berpendapat bahwa penempatan DPD secara kuat dan sejajar dengan DPR seperti senat di dalam sistem bikameral adalah tidak sesuai dengan design teori Negara kesatuan yang sudah disepakati sebagai bentuk Negara kita। Mahfud MD juga menyanggahnya lagi bahwa pandangan ini tidak dapat diterima secara ilmiah karena dua alasan:

1. Sistem ketatanegaraan yang dimuat dalam konstitusi suatu Negara itu adalah hasil kesepakatan bangsa yang membuatnya tanpa harus ikut teori atau tidak ikut teori tertentu. Karena apapun yang dituangkan didalam konstitusi itulah yang berlaku.

2. Didalam faktanya tidak terdapat toeri baku tentang kaitan antara sistem bikameral dengan bentuk Negara; ada Negara kesatuan yang menganut bikameral dan ada pula Negara kesatuan yang tunduk pada sistem unikameral.[1]

Dari bebarapa pemaparan terkait lemahnya tugas dan wewenang DPD, khususnya di bidang legislasi, maka mustahil kemudian DPD akan dapat mewujudkan maksud dan tujuan pembentukanya. Alangkah disayangkan besarnya anggaran Negara yang digunakan dalam proses penyusunan usul rancangan Undang-Undang, pertimbangan, dan pengawasan DPD apabila itu semua tidak membawa manfaat bagi rakyat. Selain itu juga sulitnya bagi anggota DPD untuk mempertanggungjawabkan secara moral dan politik kepada pemilih dan daerah pemilihannya. Makanya kemudian diperlukan sebuah penegasan bahwa perubahan UUD 1945 dapat diagendakan kembali, dan memiliki alasan-alasan logis yakni dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi, untuk menguatkan saluran aspirasi daerah dan mengefektifkan kembali sistem checks and balances yang menjadi salah satu ide awal pembentukan DPD RI di Indonesia.

Kesepakatan kelompok kita terkait akan perlunya sebuah amandemen kelima untuk memperkuat posisi DPD dalam proses legislasi sebenarnya tidak hanya terbatas karena realitas ketidakberdayaan DPD hari ini, akan tetapi mengingat juga keberadaan DPD di Negara lain yang mempunyai posisi lebih kuat,dan hal itu terbukti dapat melahirkan mekanisme checks and balances yang lebih baik. Hal ini dapat kita lihat di Amerika Serikat, Senat di Amerika Serikat memiliki kedudukan dan kewenanngan yang relative lebih kuat dan lebih luas dalam fungsinya, mungkin tidak sedikit yang mempersoalkan bahwa kedudukan dan kewenangan senat di amerika serikat adalah karena konsep perwakilan seperti itu dijalankan didalam sebuah negar federal, namun demikia dari pengalama Amerika, minimal kita dapat mengambil pelajaran bagaimana mereka mongkontruksi sebuah system hubungan pusat (federal) dengan darah (state), sehingga membangun keseimbangan keterwakilan diantara keduannya.

Apabila konsep senat di Amerika terdapat resistensi seperti di atas, maka konsep kedudukan dan kewenangan National Council Of Provinces di Afrika Selatan lebih relevan digunakan sebagi pembanding karena Afsel juga merupakan sebuah Negara kesuatuan, dimana fungsi legislasi dijalankan oleh dua lembaga yaitu “the National Assembly” dan “The national Council Of Provinces”. Seperti yang telah ditulis dalam makalah Iwan Satriawan bahwa Dalam konstitusi Afsel mengatur secar jelas kekuasaan legislative ditingkat pusat dan bagimana kewenangan antara lembaga-lembaga Negara yang ada dalam melakukan fungsi legislasi, dan selain itu juga disebutkan bahwa National council of provinces mewakili Provinsi dalam rangka menjamin kepentingan provinsi agar diperhatikan dalam praktek pemerintahan secara nasional[2]. Dengan demikian The National Council Of Provinces memilik kedudukan dan kewenangan yang jelas dan kuat dalam hal yang terkait dengan kepentingan daerah yang diwakili. Dengn melihat fenomena di Afsel ini maka resistensi secara akademik maupun politik akan

cenderung berkurang, mengingat Indonesia dan Afrika Selatan memiliki kesamaaan dalam hal penerapan system Negara kesatuan.

2. Rekomendasi kewenangan DPD dalam Proses Legislasi Nasional

Berdasarkan beberapa persoalan diatas dan mengingat kesepakatan kita terkait ide adanya amandemen kelima, biar tidak terkesan makalah yang kita buat ini hanya mengkritik tidak ada solusi yang ditawarkan, maka kelompok kita mencoba untuk merekomudasikan terkait format ideal lembaga DPD kedepan dalam rangka memperkuat fungsi legislasi Nasional, adapun gagasan rekomundasi yang dapat kita berikan adalah sebagai berikut:

a. Pasal 22D ayat (1) yang sebelumnya berbunyi:

“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”

Diusulkan berubah menjadi:

“Dewan Perwakilan Daerah memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan dearah pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”

b. Pada Pasal 22D ayat (2) yang sebelumnya berbunyi

“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan; pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”
Di usulkan berubah menjadi:

“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”.

Secara bentuk format pasal mungkin seperti itu, akan tetapi itu tentu harus di tindaklanjuti dengan perubahan pada level Undang-Undang dan peraturan lain yang menyangkut proses lagislasi yang dijalankan oleh DPD, pada point inti usul amandemen UUD 1945 harus d ikuti dengan beberpa hal yang menurut kita penting yaitu:

a. Usul Pasal 22D ayat (2) misalnya DPD tidak sekedar “ikut membahas” RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah itu, tetapi juga dapat menolak atau menyetujui sebuah RUU tersebut.

b. Usul perubahan Pasal 22C ayat (2) “anggota DPD dari setiap Propinsi jumlahnya sama, dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR”. Pasal 22C ini dirubah “anggota DPD jumlahnya 1 orang setiap Kabupaten/Kota”.

c. Kedua kamar, dalam arti DPR dan DPD dapat mengajukan RUU, khusus untuk DPD yaitu RUU yang berkaitan dengan daerah.

d. Kedua kamar DPD dan DPR ikut membahas dan kedua kamar tersebut ikut sampai pada proses pengambilan keputusan. Khusus untuk DPD yaitu RUU yang berkaitan dengan daerah.

e. Presiden tidak lagi punya hak legislasi, akan tetapi Presiden diberikan hak veto. Dan hak veto Presiden dapat diveto balik oleh Parlemen dengan menggunakan syarat kuorum.

Dengan rumusan rekomendasi seperti di atas DPD tidak lagi menjadi lembaga pelengkap DPR akan tetapi DPD merupakan lembaga yang mandiri dan dapat ikut masuk kepada tahap persetujuan atas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pada usulan anggota DPD Pasal 22D ayat (2) juga ditegaskan bahwa DPD tidak lagi mempunyai fungsi yang sangat terbatas yaitu hanya memberikan pertimbangan kepada DPR dalam proses pembahasan RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Akan tetapi DPD juga diberi kewenangan untuk ikut membahas, serta memberikan pertimbangkan kepada DPR. Penulis sependapat dengan hal tersebut, karena apabila DPD hanya masuk pada wilayah pertimbangan saja, maka itu hanyalah sebagian kecil dalam penggunaan hak dalam fungsi legislasi.

  1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis pada pembahasan yang telah dikemukakan di bab-bab terdahulu, maka penulis menarik kesimpulan bahwa Dewan Perwakilan Daerah memiliki kewenangan yang terbatas dalam proses legislasi karena Dewan Perwakilan Daerah hanya diberi wewenang untuk dapat mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Akan tetapi pada wilayah pengambilan keputusan Dewan Perwakilan Daerah tidak dilibatkan.

Sehingga dengan bahasa lain bahwa Dewan Perwakilan Daerah hanya menjadi biro perancang undang-undang dari Dewan Perwakilan Rakyat, dalam arti bahwa dalam pelaksanaan fungsi legislasi, DPD tidak bisa masuk tahap persetujuan rancangan undang-undang. Secara otomatis DPD juga tidak dapat masuk pada tahap melakukan penilaian dan juga mempengaruhi atas suatu produk undang-undang, terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan daerah karena dalam kamar legislasi hanya terdapat DPR dan Presiden.

Agar terbangun prinsip checks and balances dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia, maka diperlukan sebuah perubahan mendasar terhadap fungsi legislasi yaitu dengan tidak lagi membatasi DPD seperti saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi dapat terwujudkan.

Apabila pola legislasi seperti sekarang ini maka DPD tidak pernah mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional, terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan daerah.

Tidak ada komentar: